Meski terkenal sebagai kawasan hutan jati ‘spooky' di Jawa Tengah  [‘kompetitor' lain adalah Alas Purwo  di Jawa Timur], tempat ini punya  kenangan tersendiri bagi saya.  Khususnya di ‘zaman silam', ketika ruas  baru Alas Roban yang dibangun Pemerintah Indonesia belum ada.  Semua  jenis kendaraan, mulai bus umum, truk sampai kendaraan pribadi harus  melintasi rute ini.
Salah satu kebiasaan yang dilakukan orangtua saya ketika kami  -putra-putrinya-masih kecil adalah berwisata dengan mobil pribadi dari  Jawa Timur ke Jawa Tengah saat liburan sekolah anak-anak.  Dan itu  artinya melintasi rute sepanjang Pantura dari Surabaya sampai Semarang,  ditambah Jogjakarta, Solo sampai Temanggung dan Parakan.
Salah satu rute favorit kami sebagai anak-anak di bawah limabelas tahun  adalah Alas Roban, lengkap dengan segala kisah ‘spooky' yang   dimilikinya.  Seperti kondisinya sebagai bagian dari Grote Postweg,  jalanan licin tanpa penerangan di malam hari dengan lintasan  berliku-liku alias meliuk-liuk yang bisa bikin perut mual, sampai begal  atau rampok yang menunggu di tempat-tempat strategis.
Termasuk juga ‘wingitnya' atau seramnya si hutan sendiri dalam deskripsi  visual.  Sebelum masuk hutan dan sesudah keluar hutan, terdapat begitu  banyak resto dan warung makanan.  Termasuk sate kambing muda Subali di  daerah Subah yang cukup terkenal itu.  Tapi begitu masuk hutan sejauh 1  km, tak ada warung apapun yang bisa dijadikan tempat ‘ngiras' atau  mengudap makanan.
Sementara barang dagangan yang banyak di-display dekat warung dan resto  adalah balok kayu pengganjal ban tru atau bus.  Ini semacam inidkasi, di  dalam hutan nantinya akan banyak dijumpai tanjakan dan turunan yang  memerlukan balok kayu sebagai ganjalnya.
Itu sebabnya, ayah saya merasa wajib -dalam pandangan anak-anaknya-untuk  melintasi rute hutan jati sekitar 17 km ini pada saat "isih ana  srengenge" alias pagi atau siang di saat matahari terang-benderang.   Parah-parahnya, saat senja sebelum Maghrib adalah waktu paling malam, di  saat bayang-bayang batang-batang jati   terlihat makin rapat di  permukaan tanah.
Harus pula diusahakan agar mobil kami tak merapat pada ekor truk atau  bus saat menanjak, karena kemungkinan bahaya gagal menanjak.  Akibatnya  tentu berbahaya bagi kami sebagai mobil di belakangnya.
Kejadian ‘seram' tapi seru terjadi pada suatu ketika, saat kami  sekeluarga mesti ‘bermalam' di Alas Roban.  Padahal saat itu, pada  1980-an beredar rumor bahwa orang-orang yang menjadi target penembak  misterius [petrus] dibuang ke sini begitu saja, setelah sukses  dieksekusi. 
Saat itu, kami sekeluarga melakukan trip Semarang - Batang untuk  menengok adik ibu saya tercinta.  Rutenya:  Semarang-Kaligawe-Kendal-Kaliwungu sampai  Banyuputih-Subah-Alas  Roban-Tulis-Batang.  Keasyikan berhenti sana-sini untuk wisata kuliner  sepanjang jalan, membuat kami harus masuk kawasan hutan saat waktu  menunjukkan pukul 17.00.
Niat bapak saya tercinta tentulah melaju dalam batas kecepatan aman tapi  secepatnya sampai ke Batang.  Tapi baru jalan setengah km, kami  menjumpai antrean tak alang kepalang panjangnya.  Sampai 2 km ke depan.
Sepupu dan adik laki-laki saya bersama oom-pun turun mobil dan berjalan  kaki untuk melihat ada apakah gerangan.  Ternyata ada truk pengangkut  bilah-bilah baja terbalik dan seluruh isinya tumpah!  Kondisi ini kontan  membuat kemacetan di dua arah. 
Dan seluruh mobil mesti berhenti total selama tak kurang dari 4 jam!   Yang membuat kami merasa beruntung, lalu-lintas saat itu sangat ramai.   Mobil-mobil pribadi nyelip di tengah-tengah bus dan truk.  Orang-orang  setempat -padahal di terang hari, kami belum pernah melihat ada desa di  dalam kawasan hutan-menjual makanan dadakan, seperti indomie rebus, teh  dan kopi. 
Lalu korban kemacetan pun -yaitu semua penumpang dan sopir mobil, truk  dan bus-banyak yang saling tukar info dan ngobrol seperlunya sembari  duduk-duduk menunggu di pagar baja pembatas jalan raya dengan tebing dan  jurang.
Di saat itulah, ayah saya berkisah soal kerja rodi di masa pembuatan de  Grote Postweg.  Ruas Alas Roban merupakan salah satu tempat di mana  banyak pekerja menjadi korban karena ganasnya medan.  Mereka mesti  bahu-membahu menata batu naik turun bukit yang konturnya meliuk-liuk.   Setelah sebelumnya harus ‘membelah' hutan dan menancapkan tonggak atau  patok-patok penanda bakal  jalan yang akan dibuat.
Masa sekarang, pengguna rute Alas Roban sudah dapat menikmati jalan baru  yang dibuat Dinas Pekerjaan Umum/DPU.  Mobil-mobil pribadi diarahkan ke  jalan baru, sedang bus dan truk tetap menggunakan rute asli atau  orisinal buatan bangsa kita di bawah perintah Gubernur Jendral Daendels.  Meski begitu, ‘keganasan' trek lama Alas Roban serta jalurnya yang  meliuk-liuk tak terlupakan.
Ada perasaan yang sulit saya lukiskan saat berhenti sejenak di rute  orisinal de Grote Postweg bersama wikimuwan dan wikimuwati dalam rangka  mengikuti Rally de Blogger Postweg.  Tulisan ini saya dedikasikan kepada  mereka.  Para pekerja yang mewujudkan Jalan Raya Pos Anyer-Panarukan.   Rute ini tetap menjadi urat nadi perekonomian sampai sekarang.
sumber = http://www.kaskus.us/showthread.php?p=467901860#post467901860
 
 
No comments:
Post a Comment