Friday, July 8, 2011

MISTERI ALAS KETONGGO

ear All Brother and Sisters,
Peringatan dari Perhutani
Pada hari Sabtu, 13 Juni 2009, saya diajak seorang Bhikkhu  berjalan-jalan ke Alas Ketonggo, Jawa-Timur.  Bhikkhu tersebut, dulunya (sebelum menjadi Bhikkhu)  tinggal bertapa di dalam hutan itu ( Alas Ketonggo ) selama satu tahun, sebelum akhirnya menuntut ilmu ke tanah para Buddha ( India, Tibet, Thailand, Burma/Myanmar )  dan ditahbiskan menjadi Bhikkhu disana ( Burma/Myanmar ).
Jalan setapak menuju Pertapaan Dewi Tunjung Sari
Alas Ketonggo, adalah hutan dengan luas 4.846 meter persegi, yang terletak 12 Km arah selatan kabupaten Ngawi. Jawa Timur.  Menurut masyarakat Jawa, Alas Ketonggo merupakan salah satu dari kedua alas-angker / “wingit” di tanah Jawa. Disana terdapat kerajaan makhluk-halus, begitu menurut masyarakat. Sedangkan satu hutan lainnya adalah, Alas-Purwa di Banyuwangi.  Alas Purwa disebut dengan “Bapak”, sedangkan Alas Ketonggo disebut dengan “Ibu”.
Menurut catatan, di Alas-Ketonggo terdapat lebih dari sepuluh (10) tempat pertapaan :
Mulai dari Palenggahan-Agung-Srigati, Pertapaan-Dewi-Tunjung-Sekar, Sendang-Derajad, Sendang-Mintowiji, Goa Sidodadi Bagus, Pundhen Watu Dakon, Pundhen Tugu Mas, Umbul Jambe, Punden Siti Hinggil, Kali Tempur Sedalem, Sendang Panguripan, Kori Gapit, dan Pesanggrahan Soekarno.
Papan-Nama-Palenggahan-Agung-Srigati
Saya kemarin hanya sempat ke Palenggahan Agung Srigati, Pertapaan Dewi Tunjung Sekar, Sendang Derajad, Sendang Mintowiji, Gowa Sidodadi Bagus, tidak sempat ke tempat2 lain karena sesuatu hal.
PALENGGAHAN AGUNG SRIGATI
Lokasi Palenggahan Agung Srigati ini di wilayah Desa Babadan, Kecamatan Paron, Kabupaten Ngawi, Jawa-Timur. Konon, tempat ini dulunya adalah tempat peristirahatan Prabu Brawijaya V setelah lari dari kerajaan Majapahit karena kerajaan diserbu oleh tentara-tentara Demak dibawah pimpinan R.Patah dan Wali-Sanga ( Sembilan Wali penyebar agama Islam di tanah Jawa ).  Dikatakan, ditempat itulah Sang Prabu kemudian melepas semua tanda-tanda Kebesaran-Kerajaan, yaitu jubah Beliau, Mahkota , dan semua benda-benda Pusaka; konon, kesemuanya kemudian “raib”, “moksa”.  Dan lalu Sang Prabu melanjutkan perjalanan menuju Gunung Lawu.
Pak Marji-Sang Juru Kunci
Yang merupakan petilasan Sang Prabu Brawijaya V adalah berupa gundukan tanah yang tumbuh setiap hari dan mengeras bagaikan membentuk batu-karang.  Kini, gundhukan tanah tersebut, yang didasari plesteran-semen ditutup keramik, dikelilingi oleh sebuah bangunan berukuran 4X3 meter. Dinding rumah Palenggahan Agung Srigati ini biasanya ditutupi bendera Merah-Putih panjang, namun Sabtu kemarin, penutupnya hanya berupa kain putih saja.
Suasana Dalam Pesanggrahan Agung Srigati
Didalam rumah-rumahan Palenggahan Agung ini, terdapat berbagai benda-benda yang secara simbolik melambangkan tanda-tanda kebesaran kerajaan Majapahit. Baik berupa mahkota Raja, tombak-tombak pusaka, gong, dan lain-lainnya.  Di dalam ruangan ini sangat pekat aroma Dupa dan bunga-bunga, hal yang sangat wajar kita temukan di sebuah tempat “sakral”. Dupa dan taburan bunga-bunga ini berasal dari para pengunjung.
Gundukan Tanah Palenggahan Agung Srigati
Pak Marji ( Juru Kunci ) menyatakan, gundukan tanah tersebut pada saat-saat tertentu tidak tumbuh menyembul, katanya saat Indonesia mengalami suatu musibah atau peristiwa yang kurang-baik, maka gundukan tanah tidak akan tumbuh. Bila gundukan tanah tidak tumbuh, maka ini menjadi pertanda buruk bagi bangsa dan negara, begitu katanya.
Plang-Papan-Nama-Pertapaan Dewi Tunjung Sekar
Pada saat terjadi krisis moneter 1997, tanah tersebut tidak tumbuh, sehingga sama sekali tidak ada gundukan yang menyembul.
Pertapaan Dewi Tunjung Sekar ; Tidak terawat
Pada hari-hari tertentu, seperti Jumat Pon dan Jumat Legi, apalagi di bulan Sura, masyarakat Jawa berbondong-bondong datang ke Palenggahan ini. Pada saat-saat itu, warga banyak menguncarkan “doa” dan bertapa, memohon berkah kepada “yang Maha Kuasa”, dari yang meminta berkah rejeki, karier, hingga perjodohan.
Pertapaan Dewi Tunjung Sekar dilihat dari Sungai
KISAH-KISAH MISTIS
Pak Marji menuturkan, banyak kisah mistis di Alas Ketonggo yang berhubungan dengan situasi politik-nasional.  Alkisah, menjelang Soeharto (Presiden RI kedua) lengser pada tanggal 21 Mei 1998, ada pohon jati yang mengering dan mati. Padahal sebelumnya, pohon itu tumbuh seperti biasa.
Papan Nama Sendang Derajad
Sendang Derajad
Dua puluh tiga (23) hari sebelum Ibu Tien Soeharto meninggal juga ada kejadian aneh, yaitu patahnya sebuah dahan pohon besar di Alas-Ketonggo. Padahal saat itu tidak ada hujan tidak ada angin.
Batu Bertuliskan "Tuk Mintowiji"
Tuk Mintowiji 2
Tuk Mintowiji
Tanggal 20 Juli 2001, tiga hari menjelang Megawati Soekarnoputri dilantik menjadi Presiden RI, muncul cahaya Biru dan Putih bagaikan lentera diatas Kali Tempur Sedalem.
Guwa Sidodadi Bagus
Lorong Goa Sidodadi Bagus dari sisi Kanan
Tugu tempat pemujaan di dalam Goa
Lorong Goa sisi Kiri
Cerita-cerita mistis seperti inilah yang membuat banyak orang “ngalab-berkah” ke Alas Ketonggo. Tidak jarang, bahkan para pejabat-pejabat negara Republik Indonesia berkunjung ke tempat ini mencari “orang-sakti” , atau untuk “mohon-petunjuk” kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, begitu katanya.
Sayangnya, jalan menuju Alas Ketonggo ( khususnya menuju Palenggahan Agung Srigati ) ini sangat tidak terawat. Yang ada hanya jalan berbatu (tanpa aspal) yang bergelombang, sempit.  Mungkin sebaiknya pemerintah memperhatikan perbaikan jalan tersebut, supaya orang-orang yang ingin “nglakoni” atau bertapa ke Alas Ketonggo bisa menempuh perjalanan dengan nikmat.
Peace & Love,
Ratana Kumaro. ( SOURCE http://ratnakumara.wordpress.com/2009/06/15/jalan2-ke-alas-ketonggo/ )

No comments:

Post a Comment