ear All Brother and Sisters, 
Pada hari Sabtu, 13 Juni 2009, saya diajak seorang Bhikkhu   berjalan-jalan ke Alas Ketonggo, Jawa-Timur.  Bhikkhu tersebut, dulunya  (sebelum menjadi Bhikkhu)  tinggal bertapa di dalam hutan itu ( Alas  Ketonggo ) selama satu tahun, sebelum akhirnya menuntut ilmu ke tanah  para Buddha ( India, Tibet, Thailand, Burma/Myanmar )  dan ditahbiskan  menjadi Bhikkhu disana ( Burma/Myanmar ).
Alas Ketonggo, adalah hutan dengan luas 4.846 meter persegi, yang  terletak 12 Km arah selatan kabupaten Ngawi. Jawa Timur.  Menurut  masyarakat Jawa, Alas Ketonggo merupakan salah satu dari kedua  alas-angker / “wingit” di tanah Jawa. Disana terdapat kerajaan  makhluk-halus, begitu menurut masyarakat. Sedangkan satu hutan lainnya  adalah, Alas-Purwa di Banyuwangi.  Alas Purwa disebut dengan “Bapak”,  sedangkan Alas Ketonggo disebut dengan “Ibu”.
Menurut catatan, di Alas-Ketonggo terdapat lebih dari sepuluh (10) tempat pertapaan :
Mulai dari Palenggahan-Agung-Srigati, Pertapaan-Dewi-Tunjung-Sekar,  Sendang-Derajad, Sendang-Mintowiji, Goa Sidodadi Bagus, Pundhen Watu  Dakon, Pundhen Tugu Mas, Umbul Jambe, Punden Siti Hinggil, Kali Tempur  Sedalem, Sendang Panguripan, Kori Gapit, dan Pesanggrahan Soekarno.
Saya kemarin hanya sempat ke Palenggahan Agung Srigati, Pertapaan  Dewi Tunjung Sekar, Sendang Derajad, Sendang Mintowiji, Gowa Sidodadi  Bagus, tidak sempat ke tempat2 lain karena sesuatu hal.
PALENGGAHAN AGUNG SRIGATI
Lokasi Palenggahan Agung Srigati ini di wilayah Desa Babadan,  Kecamatan Paron, Kabupaten Ngawi, Jawa-Timur. Konon, tempat ini dulunya  adalah tempat peristirahatan Prabu Brawijaya V setelah lari dari  kerajaan Majapahit karena kerajaan diserbu oleh tentara-tentara Demak  dibawah pimpinan R.Patah dan Wali-Sanga ( Sembilan Wali penyebar agama  Islam di tanah Jawa ).  Dikatakan, ditempat itulah Sang Prabu kemudian  melepas semua tanda-tanda Kebesaran-Kerajaan, yaitu jubah Beliau,  Mahkota , dan semua benda-benda Pusaka; konon, kesemuanya kemudian  “raib”, “moksa”.  Dan lalu Sang Prabu melanjutkan perjalanan menuju  Gunung Lawu.

Yang merupakan petilasan Sang Prabu Brawijaya V adalah berupa  gundukan tanah yang tumbuh setiap hari dan mengeras bagaikan membentuk  batu-karang.  Kini, gundhukan tanah tersebut, yang didasari  plesteran-semen ditutup keramik, dikelilingi oleh sebuah bangunan  berukuran 4X3 meter. Dinding rumah Palenggahan Agung Srigati ini  biasanya ditutupi bendera Merah-Putih panjang, namun Sabtu kemarin,  penutupnya hanya berupa kain putih saja.
Didalam rumah-rumahan Palenggahan Agung ini, terdapat berbagai  benda-benda yang secara simbolik melambangkan tanda-tanda kebesaran  kerajaan Majapahit. Baik berupa mahkota Raja, tombak-tombak pusaka,  gong, dan lain-lainnya.  Di dalam ruangan ini sangat pekat aroma Dupa  dan bunga-bunga, hal yang sangat wajar kita temukan di sebuah tempat  “sakral”. Dupa dan taburan bunga-bunga ini berasal dari para pengunjung.
Pak Marji ( Juru Kunci ) menyatakan, gundukan tanah tersebut pada  saat-saat tertentu tidak tumbuh menyembul, katanya saat Indonesia  mengalami suatu musibah atau peristiwa yang kurang-baik, maka gundukan  tanah tidak akan tumbuh. Bila gundukan tanah tidak tumbuh, maka ini  menjadi pertanda buruk bagi bangsa dan negara, begitu katanya.
Pada saat terjadi krisis moneter 1997, tanah tersebut tidak tumbuh, sehingga sama sekali tidak ada gundukan yang menyembul.
Pada hari-hari tertentu, seperti Jumat Pon dan Jumat Legi, apalagi di  bulan Sura, masyarakat Jawa berbondong-bondong datang ke Palenggahan  ini. Pada saat-saat itu, warga banyak menguncarkan “doa” dan bertapa,  memohon berkah kepada “yang Maha Kuasa”, dari yang meminta berkah  rejeki, karier, hingga perjodohan.
KISAH-KISAH MISTIS
Pak Marji menuturkan, banyak kisah mistis di Alas Ketonggo yang  berhubungan dengan situasi politik-nasional.  Alkisah, menjelang  Soeharto (Presiden RI kedua) lengser pada tanggal 21 Mei 1998, ada pohon  jati yang mengering dan mati. Padahal sebelumnya, pohon itu tumbuh  seperti biasa.
Dua puluh tiga (23) hari sebelum Ibu Tien Soeharto meninggal juga ada  kejadian aneh, yaitu patahnya sebuah dahan pohon besar di  Alas-Ketonggo. Padahal saat itu tidak ada hujan tidak ada angin.
Tanggal 20 Juli 2001, tiga hari menjelang Megawati Soekarnoputri  dilantik menjadi Presiden RI, muncul cahaya Biru dan Putih bagaikan  lentera diatas Kali Tempur Sedalem.
Cerita-cerita mistis seperti inilah yang membuat banyak orang  “ngalab-berkah” ke Alas Ketonggo. Tidak jarang, bahkan para  pejabat-pejabat negara Republik Indonesia berkunjung ke tempat ini  mencari “orang-sakti” , atau untuk “mohon-petunjuk” kepada Tuhan Yang  Maha Kuasa, begitu katanya.
Sayangnya, jalan menuju Alas Ketonggo ( khususnya menuju Palenggahan  Agung Srigati ) ini sangat tidak terawat. Yang ada hanya jalan berbatu  (tanpa aspal) yang bergelombang, sempit.  Mungkin sebaiknya pemerintah  memperhatikan perbaikan jalan tersebut, supaya orang-orang yang ingin  “nglakoni” atau bertapa ke Alas Ketonggo bisa menempuh perjalanan dengan  nikmat.
Peace & Love,
Ratana Kumaro. ( SOURCE http://ratnakumara.wordpress.com/2009/06/15/jalan2-ke-alas-ketonggo/ )
No comments:
Post a Comment